ANALOGI: ANDAI KITA YANG DIGUSUR

Di tahun 2017, begitu banyak berita tentang penggusuran dimana-mana. Alih-alih demi kemajuan suatu bangsa dan negara, aspek kemasyarakatan menjadi tersisihkan. Sebenarnya bukan bagianku menunjuk mana yang benar dan mana yang salah. Semua sudah terurai dalam perundang-undangan dan peraturan yang dibuat agar supaya semua tertib dan patuh terhadap asas bernegara. Tapi, dosakah warga-warga yang mendapatkan warisan dari para leluhurnya? Berhak kah Negara mengusir mereka dengan alasan kemajuan negara atau kepentingan umum?
Coba berandai-andai, beranalogi bagaimana kita yang menjadi imbas dari pembangunan tersebut. Bagaimana kalau kita menjadi kaum yang tersakiti batinnya, raganya, karena terpaksa bertentangan dengan hukum absolut yang hampir tak bisa dikalahkan, demi untuk kemajuan negara.
Ada beberapa alasan negara ketika melakukan penggusuran kepada warga yang lahannya akan dibangun demi kemajuan negara dan kepentingan umum;

Pertama, penggusuran yang disebabkan oleh sengketa kepemilikan hak atas tanah maupun rumah.

Para pihak yang bersengketa membawa penyelesaian kasusnya ke pengadilan negeri. Setelah pengadilan memutuskan tanah maupun rumah dimenangkan oleh salah satu pihak dan putusan itu sudah berkekuatan hukum tetap kemudian pemenang diberi hak untuk memohon eksekusi. Permohonan eksekusi berisi permintaan kepada ketua pengadilan negeri, panitera, jurusita, dan meminta bantuan kepada walikota/bupati setempat, Satpol PP, polisi dan militer untuk mengeksekusi atau mengusir paksa pihak yang menguasai rumah dan tanah. Seluruh biaya yang dikeluarkan untuk menggusur akan dibebankan kepada pemohon eksekusi.

Kedua, penggusuran yang disebabkan oleh perubahan tata ruang.

Alasan ini sering sekali digunakan. Dan warga terdampak akan dituduh sebagai pelanggar aturan tata ruang dan dituduh penghuni liar. Stigma negatif akan berdampak buruk bagi warga. Selain akan kehilangan ganti rugi, mereka juga akan menerima hinaan dari pihak lain seperti masyarakat lainnya atau media. UU Tata Ruang (UU No. 26/2007) mengatur beberapa hak warga terdampak. Hak-hak seperti:
  1. mengetahui rencana tata ruang [Pasal 60 huruf a].
  2. Berpartisipasi dalam penyusunan rencana tata ruang; pemanfaatan ruang; dan pengendalian pemanfaatan ruang [Pasal 65 ayat (1) dan (2)]
  3. Masyarakat berperan aktif dalam perumusan konsepsi rencana konsepsi rencana tata ruang termasuk dalam prosedur penyusunan rencana tata ruang [PP No. 15/2010 tentang Penyelenggaraan Penataan Ruang Pasal 7 (4), Pasal 20, dan Pasal 27 (1)].
  4. Masyarakat yang dirugikan akibat penyelenggaraan penataan ruang dapat mengajukan gugatan melalui pengadilan [UU Tata Ruang Pasal 66 (1)]. Masyarakat berhak untuk mendapatkan ganti rugi bila di lokasi tanah dan rumahnya ada perubahan penataan ruang.
Singkatnya, disimpulkan bahwa bila pemerintah akan mengubah tata ruang di wilayahnya. Menurut UU Tata Ruang, Negara itu wajib meminta persetujuan warga yang terdampak. Bila warga setuju, maka negara wajib memberikan ganti untung yang pantas untuk warga yang memilki tanah tersebut dan tak jarang diabaikan, dari mulai kasus kalijodo, taman sari, kebon jati, pasar ikan, dll.

Ketiga, penggusuran karena pembangunan jalan raya, jalan tol, normalisasi kali, pembangunan waduk, atau bandara.

Pembangunan dalam bahasa perundang-undangan sering disebut pembangunan bagi kepentingan umum. Kegiatan pembangungan untuk umum dapat dilakukan sesuai dengan UU Pengadaan Tanah (UU No. 2/2012). Pelaksanaan dalam pembebasan tanah dan bangunan untuk pelaksanaan proyek harus mengacu pada Perpres No. 71/2012.
Tahap-tahapnya adalah:
  1. Sebelum proyek ditetapkan dan dimulai, negara harus berkomsultasi dengan masyarakat atau pemilik tanah tersebut.
  2. Bila warga menolak, maka jelas pemerintah tidak bisa melanjutkan proyek tersebut.
  3. Bila warga setuju, maka dapat ditetapkan berapa nilai ganti untung dan layak bagi tanah dan bangunan milik warga. Dan perlu diingat, penetapan harga tersebut harus disetejui oleh kedua belah pihak. Bila warga merasa keberatan dengan penawaran harga tersebut, warga dapat mengajukan keberatan kepada pengadian negeri, atau bila masih sulit, ajukan kasasi ke Mahkamah Konstusi. Lalu kalau proses tawar-menawar ini terlalu lama berlarut-larut, negara bisa menitipkan harga tanah ke pengadilan atau biasa disebut konsinyasi.
  4. Lalu bila sudah sepakat, negara belum bisa langsung menetapkan dan melaksanaan proyek tersebut sampai nominal harga yang disepakati sudah diterima di rekening warga yang terdampak.
Dalam beberapa kasus sering sekali Negara melalui Pemerintah dan Pemborong abai terhadap langkah-langkah tersebut di atas. Mereka lebih sering membuat rumor kepada media mainstream tentang betapa salahnya warga yang dicap sebagai penghuni liar, warga yang menjarah tanah negara dan segala cap-cap negatif yang disematkan pada warga agar Negara tak perlu memberikan ganti rugi yang layak terhadap warga terdampak.Contoh kasus terbarunya, NYIA kulon progo, DI. Yogyakarta.
Mengutip Jawaban dari Aldo Felix Januardy, Pengacara dari LBH YLBHI Jakarta. Kalau masih belum kenal siapa Bung Aldo, kalian bisa cari sendiri di google. Siapa tahu biodata beliau ada disitu. Jadi begini, menurut Bung Aldo terkait penggusuran warga untuk kemajuan bangsa dan kepentingan umum oleh Negara; Terminologi “tanah negara”,  kerap dijadikan landasan mutlak bagi Negara untuk memperoleh kepemilikan dari suatu tanah yang sedang diduduki oleh warga, yang sesungguhnya sama sekali tidak dikenal di dalam hukum agraria. Pasal 2 ayat (1), (2), dan (3) UU No. 5/1960 tentang Aturan Dasar Pokok-Pokok Agraria hanya mengatur tentang “hak menguasai negara”, yaitu negara diposisikan sebagai pemberi wewenang untuk:
  1. Mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan dan pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa tersebut.
  2. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dengan bumi, air dan ruang angkasa.
  3. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dan perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi, air dan ruang angkasa.
Lanjutnya, menurut Bung Aldo, seluruh pelaksanaannya diatur di dalam berbagai ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang agraria. Tetapi, negara tidak memiliki hak mutlak untuk mengklaim sebuah tanah tanpa prosedur yang sah.
Jadi klaim Negara atas tanah nir-sertifikat sebagai “tanah negara” sesungguhnya didasarkan pada hukum kuno zaman kolonial yang sudah seharusnya tidak berlaku lagi. Konsep Klaim pemerintah atas tanah nirsertifikat sebagai “tanah negara” sesungguhnya didasarkan pada hukum kuno kolonial yang sudah tidak berlaku lagi, yaitu konsep Domein Verklaring pada ketentuan Agrarisch Wet/Besluit 1870 (AB 1870). Ketentuan ini dahulu memberikan wewenang bagi Gubernur Jenderal di bawah pemerintahan kolonial untuk secara sepihak merampas tanah yang diduduki oleh warga dengan alasan ilegal.
Prof. Boedi Harsono (Alm.), Guru Besar Hukum Agraria Universitas Trisakti, dalam Hukum Agraria Indonesia: Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok Agraria, Isi, dan Pelaksanaannya mengutarakan bahwa pasal Domein Verklaring sesungguhnya “merampas hak-hak masyarakat” sehingga hendaknya tidak diterapkan lagi pada hukum agraria modern.
Ayo, coba kita berandai sekali lagi. Dosakah mereka? Salahkah mereka? Bagaimana kalo kita yang menjadi pihak terdampak dengan segala ke-njlimet-an hukum di Indonesia? Iya kalau orang kaya masih bisa beli hukum, kalau masyarakat kecil seperti saya bagaimana? Dulu, bisa kuliah saja harus gadai taspen orang tua ke BJB, bagaimana caranya untuk beli hukum di Indonesia? Kadang kita masih tidak mengerti dan enggan belajar tentang hukum indonesia dan baru menyesal setelah dibohongi si pintar.
Hari ini mungkin masih orang lain yang terkena dampak, bagaimana kalau dalam masa mendatang kita yang kena? Mari belajar peduli sesama. Kalau enggan turun ke jalan, banyak media untuk membela orang-orang yang terkena dampak dan sedang melawan ketimpangan antara Negara dan Rakyatnya. Karena sepertinya sudah kodrat, negara memperluas kekuatannya dan rakyat memperjuangkan apa yang masih ada.

ps: Kegundahan ini sudah tertanamkan di kepala saya sampai sulit tidur. Sudah mah hidup téh sulit, jadi makin sulit.


Penduduk Indonesia yang takut digusur karena kepentingan umum dan kemajuan bangsa,
Bandung, 16 Desember 2017.

Comments

Popular Posts