CARTEL
Dalam Black’s Law Dictionary Kartel diartikan “A combination of producer of any product joined together to control its productions, sale and price, so as to obtain a monopoly and restrict competition in any particular industry or commodity”. Dalam pasal 11 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 Tentang Monopoli dan Persaingan Usaha, meskipun tidak ada definisi yang tegas tentang kartel di dalam Undang-Undang Larangan Praktek Monopoli, dari Pasal 11 dapat dikonstruksikan bahwa kartel adalah perjanjian horizontal untuk mempengaruhi harga dengan mengatur produksi dan atau pemasaran suatu barang dan atau jasa, yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat. 4 Unsur yang bisa diartikan sebagai kartel adalah menurut pasal 11, yaitu, (1) Perjanjian dengan pelaku usaha saingannya, (2) Bermaksud mempengaruhi harga, (3) Dengan mengatur produksi dan atau pemasaran, (4) Dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat.
Dalam praktiknya, kartel tak hanya tentang narkoba tapi juga beberapa jasa atau barang yang memang sengaja dimainkan oleh pemain besar dan diatur dari atas. Tapi mari kita garis bawahi, kita bahas kartel dalam peredaran narkoba dan penumpasannya. Menurut nalar saya atau mungkin kalian, kartel narkoba memang sulit untuk ditangkap ataupun dibunuh. Karena biasanya mereka memang memiliki bisnis legal dan “core industry” yang mempertebal pundi uang miliknya tak tersentuh oleh pihak polisi ataupun orang-orang yang berwajib menumpasnya. Belum lagi menyuap beberapa pihak yang berpegaruh, rasanya semakin tidak mungkin untuk meringkus mereka. Maka dari itu, hormat dan bangga kami kepada pihak yang berhasil menangkap mereka yang mencoba merusak generasi bangsa.
“Masih banyak lagi yang akan mati. Saya tegaskan saya tidak akan berhenti. Saya akan meneruskannya sampai bandar obat bius terakhir di Filipina mati dan pengedar narkoba enyah dari jalanan,” (BBC Indonesia untuk Filipina, 22 Maret 2017) - Rodrigo Duterte, Presiden Filipina.
Fenomena pembunuhan para pengedar kecil atau kartel narkoba oleh Pemerintah sebenarnya bukan yang pertama kita dengar atau rasakan, walaupun tanah air kita, Negara Kesatuan Republik Indonesia tidak memiliki kartel narkoba sebesar meksiko, brazil, kolombia atau sekitarnya tetapi jajaran Pemerintahan kita sempat geram dan mengambil langkah pasti dalam meringkus para “pemain” ini. Coba kita tarik mundur, siapa saja para “pemain” ini yang diringkus dan dihabisi atas nama keadilan, kestabilan dan masa depan negara:
- Freddy Budiman adalah salah satu gembong narkoba terbesar yang pernah ada di
Indonesia. Ia pertama kali ditangkap pada tahun 2011 silam. Ia mengimpor sekitar 1,4 juta pil ekstasi yang berasal dari Tiongkok. Akibat hal ini ia dijatuhi hukuman mati oleh Pengadilan Negeri Jakarta Barat dengan dakwaan sebagai otak penyelundupan barang terlarang itu. Pada tahun 2013, saat ia masih berada di Lapas Khusus Narkotika Cipinang, Freddy masih menjalankan bisnis narkobanya dalam sel. Tak tanggung-tanggung, omzetnya mencapai miliaran rupiah. Di dalam penjara pun ia masih sempat berpesta narkoba hingga berhubungan badan dengan wanita yang menjadi kekasihnya. Kehebatan Freedy Budiman ternyata masih berlanjut. Ia membuat sebuah pabrik narkoba jenis baru yang disebut dengan CC4.
Pabrik ini digunakan untuk memasok semua kebutuhan narkoba ke jaringannya. Hingga akhirnya di eksekusi pada tanggal 29 juli 2016 di Nusa Kambangan. - Amir Aco adalah tersangka kasus narkoba paling lihai di Indonesia. Bagaimana tidak, ia pernah satu kali kabur dari penjara pada tahun 2014 silam. Amir Aco atau yang bernama lengkap Amiruddin ini memberi makan sipir yang sebelumnya telah diberi obat tidur. Setelah merasakan segarnya udara bebas, ia ditangkap lagi pada awal 2015 karena kasus yang sama. Kali ini ia membawa sabu-sabu seberat 1,2 kg dan ekstasi sebanyak 4.188 buah. Total barang haram itu memiliki nilai 4 miliar rupiah. Setelah dipenjara dan mendapatkan hukuman mati, Amir Aco tidak kapok. Jiwanya sebagai raja Narkoba membuat ia tetap menjalankan bisnis haram ini di dalam sel tahanan. Bahkan saat ada razia ia menyimpan 50 gram sabu-sabu dalam kantung kecil. Selain itu ia juga menyimpan uang jutaan rupiah di loker penjara. Sampai saat ini, belum keluar tanggal untuk eksekusi mati untuk amir.
- Meirika Fanola atau sering disebut dengan Ola adalah wanita yang sering mendapatkan julukan sebagai ratu narkoba Indonesia. Ia pernah tertangkap tangan akan menyelundupkan narkoba seberat 3,5 kg untuk jenis heroin dan 3 kg untuk jenis kokain di Bandara Sukarno-Hatta. Ia akan membawa narkoba itu ke London dan diedarkan di sana. Berkat aksinya ini Franola akhirnya mendapatkan hukuman mati. Sayangnya saat SBY menjabat ia mendapatkan pengampunan hingga hanya dihukum seumur hidup. Kasus ini akhirnya bergulir hingga ada tersangka baru ditangkap pada tahun 2012. Uniknya, kurir narkoba ini adalah orang yang disuruh oleh Franola. Akhirnya ia kembali menjalani persidangan dan hukuman mati disematkan lagi padanya. Funny, right?
- Rico Patikasih adalah salah satu gembong narkoba paling besar di Indonesia, khususnya di Jakarta. Ia bersama rekan-rekannya menjalankan bisnis narkoba seperti bisnis narkoba pada kartel-kartel Meksiko. Jumlah mereka sangat banyak, dan yang lebih mengerikan lagi mereka melawan ketika polisi melakukan penggerebekan di daerah Berlan, Jakarta Timur. Dalam penyergapan yang dilakukan oleh polisi. Adu tembak tak bisa dihindari lagi. Bahkan ada korban dari pihak kepolisian dan juga informan. Dalam kasus ini Rico Partikasih meninggal dunia setelah menerima tembakan dari polisi.
Mungkin ada beberapa lagi “pemain” yang dihabisi hidupnya oleh Pemerintah dan tak tersingkap ke publik, who knows?
Mari kita tinggalkan sebentar bahasan ini, dan melihat sepak terjang sang Presiden Filipina, Rodrigo Duterte dalam menumpas gembong narkoba hingga ke akar-akarnya. Tercatat 7.600 orang tewas terbunuh sejak Duterte melancarkan perang narkoba. Diantaranya sekitar 2.500 orang ditembak mati oleh kepolisian dalam operasi penggerebekan. Sementara sisanya diyakini tewas di tangah pembunuh bayaran yang bekerjasama dengan aparat keamanan. Bahkan duterte berkelakar kembali bahwa kebijakan yang semula hanya sampai Desember 2016, dilanjut ke Maret 2017 dan akhirnya hingga dia selesai menjabat sebagai Presiden yang berakhir pada tahun 2022.
César Gaviria yang memimpin pertempuran berdarah menumpas kartel narkoba di Kolombia pada awal dekade 90-an, mengingatkan Presiden Filipina Rodrigo Duterte. Menurut mantan Presiden Kolombia itu, perang melawan obat-obatan terlarang tak bisa dimenangkan hanya dengan menerjunkan pasukan bersenjata. “Menerjunkan lebih banyak serdadu dan polisi di tengah komunitas pengguna obat terlarang tak cuma membuang uang, tapi juga membuat masalah menjadi lebih buruk.“
Demikian kalimat yang ditulis Gaviria dalam sebuah kolom yang dimuat di harian the New York Times edisi 7 Februari 2017. Dalam tulisan itu, Gaviria pun menyebut bahwa dia telah mempelajari pengertian itu dengan kerja keras. César Gaviria menjabat sebagai Presiden Kolombia pada rentang 1990-1994. Di masa pemerintahannya, Gaviria bekerja sama erat dengan Amerika Serikat, dan sukses mematahkan ikon perdagangan obat terlarang Kolombia, Pablo Escobar.
Gaviria menegaskan, hasil yang dia capai kala itu ditebus dengan pengorbanan luar biasa. Dia mencatat bagaimana perang yang dilakoninya melawan kartel narkoba menimbulkan beragam persoalan baru, seperti aksi pembunuhan, korupsi, dan menyebarnya persoalan ke negara tetangga. (Kompas.com, 8 Februari 2017)
Bagaimana dengan di Indonesia? Dengan sistem demokratis berslogan, “suara rakyat, suara Tuhan”, kita memiliki BNN (Badan Narkotika Nasional) yang dipimpin oleh Komisaris Jendral Budi Waseso. Setelah sebelumnya bahwa negara ini berhasil mengeksusi mati Freddy Budiman, sekarang BNN lebih gencar dalam mengatasi perederan narkoba, baik dalam rehabilitasi maupun pemberantasan. “Dan kalau yang lalu kan kita (BNN) masih kecil. Apalagi 2015 itu konsennya ke rehabilitasi. Sekarang semuanya dengan frekuensi seimbang. Baik pemberantasan dan rehabilitasi,” (Liputan 6, 29 April 2017 - Budi Waseso).
Kembali pada kartel, bagaimana cara menumpas kartel narkoba dan centeng-centengnya tanpa menggangu stabilitas negara? Kalau dengan perundang-undangan dan hukum negara saja belum cukup, tampaknya memang harus ada tangan-tangan independen yang turun ke lapangan untuk menghabisi mereka. Duterte saja dengan lantang pernah mengakui membunuh para pelaku narkoba atau penjahat motif lain dengan tangannya sendiri.
***disadur dari beberapa sumber
Bandung. 15 July, 2017.
Comments
Post a Comment