CERITA TENTANG KEADILAN; NAWACITA, DUSTA DAN DUKACITA.

Tulisan ini dibuat untuk memperingati hari HAM sedunia yang jatuh pada tanggal 10 Desember. Dengan kemajemukan penduduk di Indonesia, HAM adalah sesuatu yang harus di junjung tinggi untuk kenyamanan dan keamanan bernegara sesuai hak konstitutional yang ada pada UUD 1945 dan peraturan lainnya yang dibuat oleh negara.
Karena hukum, bukan untuk dipermainkan dan peraturan dibuat bukan untuk dilanggar. Karena saya percaya demokrasi itu bukan nasi yang dimakan jadi tai.

SEJARAH

Pada tahun 2007 saya masih duduk di Sekolah Menengah Pertama, bocah ingusan yang tinggal di kota kecil di bawah teritorial wilayah Jawa Barat. Ketika itu, setelah acara spongebob di tv lokal kulihat sebuah aksi segerombolan orang menggunakan baju hitam berkumpul sambil sesekali berorasi di depan Gedung Istana Merdeka, tempat pimpinan
negara kita, Presiden RI. Tersirat dalam fikiranku, siapa pejabat yang meninggal kala itu, kenapa dirayakan oleh rakyat biasa dan tak ada acara ceremonial. Kutanya ibu, beliau tak mengerti, saya tanyakan pada guruku di sekolah, beliau menjawab bahwa mereka adalah orang dari Jaringan Solidaritas Korban untuk Keadilan (JSKK). Untuk kapasitas otak bocah, tak sampai ilmu untuk memahami semuanya, yang tertanam pada kepalaku dari apa yang dijelaskan guruku hanya bahwa “mereka” ini orang-orang yang menuntut keadilan, kesewenang-wenangan negara yang tak bertanggung jawab.
Ketika duduk di bangku Sekolah Menengah Atas dan mengenal internet, dengan rasa penasaran yang tinggi saya mencari apa itu JSKK, ternyata hasilnya lebih dari apa yang guru  jelaskan waktu itu. Kelompok yang menagih janji dari keadilan negara ini adalah sebuah sekumpulan/paguyuban korban atau keluarga korban yang menjadi pelanggaran hak asasi manusia (HAM). Paguyuban ini selain melakukan aksi demo di depan istana negara yang baru saya tahu diadakan setiap kamis, mereka sering mengadakan sharing bersama kelompok lain seperti Jaringan Relawan Kemanusiaan (JRK) dan Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) dan mencari alternatif lainnya untuk menyuarakan keadilan bersama.

“AKSI KAMISAN”

Dari internet dan beberapa media massa saya mulai mencari kenapa acara demo ini selalu diadakan di hari kamis, telisik ku, terjawab. Ternyata kenapa dipilih hari kamis, adalah karena hari dimana peserta bisa meluangkan waktu, lalu kenapa selalu diadakan sore hari, ternyata ada perhitungannya, di sore hari lalu lintas sedang padat, banyak orang-orang lewat untuk pulang bekerja, dan tentunya kita tahu kenapa Istana Merdeka dipilih sebagai aksi “kamisan” ini, Gedung ini adalah simbol kekuasaan. Orang-orang hebat pasti meluangkan waktunya untuk ke Istana ini, sekedar untuk laporan kepada presiden, rapat terbatas atau mungkin hanya sekedar “mampir”.

“PAYUNG HITAM”

Ketika mulai masuk kuliah, saya hijrah ke Kota Bandung, karena menurut ibuku, kota yang kutinggali ini tak cukup mampu untuk membekali anaknya yang ingin sukses. Di bandung, dari seorang teman yang mengaku “aktivis” saya mendapatkan info baru, di dalam kebingungan pada objek payung hitam yang selalu digunakan ternyata ada arti yang sakral. Payung hitam dipilih sebagai maskot “kamisan” karena merupakan simbol dari perlindungan dan keteguhan iman. Payung merupakan pelinduk fisik atas panas matahari atau air hujan, dan warna hitam melambangkan keteguhan iman dalam mendambakan kekuatan dan perlindungan dari sang khalik. Payung hitam dipilih sebagai maskot, merupakan simbol perlindungan dan keteguhan iman. Payung merupakan pelindung fisik atas hujan dan terik matahari, dan warna hitam melambangkan keteguhan iman dalam mendambakan kekuatan dan perlindungan illahi.

PENTINGNYA AKSI “KAMISAN”

Menurut kawanku yang mengaku “aktivis” ini, aksi “kamisan” pertama berlangsung pada hari kamis. 18 Januari 2007. Aksi diam atau Aksi Payung hitam atau suka kelen saja mau sebut apalah. Ini adalah upaya untuk memperjuangkan dalam mengungkap kebenaran, mencari keadilan dan melawan lupa. Kata kawanku ini, selain mengadakan aksi kamisan, paguyuban ini selalu melayangkan surat terbuka kapada Presiden RI yang sedang menjabat sebagai pendidikan politik bagi para pemimpin bangsa.

AKSI DIAM

Rasa penasaranku semakin besar, selain giat browsing di internet untuk mencari kesahihan informasi yang diberikan kawanku yang katanya “aktivis” ini, saya ikut dalam aksi kamisan pertama kalinya pada tahun 2014 atau menonton mereka dari jarak agak dekat lengkap dengan atribut hitam tanpa payung. Diam dan berdiri, mereka semua diam dan berdiri, saya ikut diam. Saya bingung dimana-mana demo itu berisik, bakar ban, hancurkan gerbang atau hal-hal sejenis yang sering ditampilkan dalam berita di stasiun televisi.
image
Setelah aksi kamisan selesai, saya bertanya kepada peserta lainnya kenapa kita “diam”, sebagai anak baru saya banyak bertanya pada peserta ini, tentang aksi “kamisan”, regulasinya, tujuannya dan hal-hal lain yang pernah diceritakan oleh kawan aktivisku sebagai validasi. Menurut si peserta tersebut, diam dan berdiri ini sebagai pilihan, karena diam bukan berarti kita takut dan kehilangan hak-hak sebagai warganegara, dan berdiri menurutnya adalah melambangkan bahwa korban/keluarga korban pelanggaran HAM adalah warganegara yang tak gentar dan mampu berdiri dan mampu menunjukan bahwa mereka memeliki hak sebagai warga dari negeri ini, tanah air ini, Indonesia. Paguyuban dan semua orang yang peduli pada hak asasi manusia ini sadar bahwa hak itu tak semata-mata bisa didapatkan, terlebih bila pemerintah tak mau terlalu perduli.
Dengan kata lain juga, aksi diam ini membuktikan bahwa aksi “kamisan” bukan perusuh yang mengganggu hak-hak orang lain, bukan warganegara yang ngeyel dan susah diatur, tuntutan kami hanya agar pemerintah tidak diam dan memenuhi hak-hak yang kalian hilangkan atas nama kebaikan negara dan alasan-alasan normatif lainnya.

KAMI ADA DAN BERLIPAT GANDA

Setelah aksi “kamisan” pertamaku yang bersejarah, ku mencoba beberapa kamisan di Bandung, ternyata jumlahnya semakin banyak. Ternyata banyak orang yang masih peduli tentang keadilan hak asasi manusia di tengah zaman serba bodo amat ini. Kebanyakan dari mereka adalah mahasiswa, jurnalis, bahkan para demonstran tahun 1998 ikut turun tangan lagi. Di Jakarta saya melihat semakin banyak publik figur yang terlihat ikut turun kejalan menyuarakan ketidakadilan ini. Chiko Jericho, Rio Dewanto, Pandji Pragiwaksono, Usman Hamid, Arie Keriting, JJ Rizal, Zen RS, Efek Rumah Kaca dan banyak lagi. Menurutku ini hebat, mereka semua jengah tentang semua janji busuk
yang para petinggi negara lontarkan, mereka butuh bukti. Dan Nawacita, sebagai agenda prioritas milik Presiden Jokowi Widodo pun meski eksplisit membahas tentang penegakan Hak Asasi Manusia (HAM).
image
Kalau saya runut lagi menurut ingatan saya dan beberapa sumber berita, dan kalian siap membaca dengan pikiran dan hati terbuka ada banyak kasus pelanggaran HAM sejak kepemimpinan beliau yang belum terselesaikan.
  1. Kasus Reklamasi di Teluk Benoa, Bali. Forum Rakyat Bali bersama Walhi Bali terus berusaha untuk menyelamatkan teluk benoa tanpa adanya bantuan dari Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, Teluk sebesar 14.000 Hektar ini akan di reklamasi dan dikaji amdalnya oleh PT. Tirta Wahana Bali Internasional (PT TWBI) mengikuti perpres no 52 tahun 2014 yang dibuat oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, padahal sudah jelas semua elemen masyarakat yang ada di Bali menolak kegiatan reklamasi tersebut karena akan merusak ekosistem dan tatanan kebudayaan yang sudah ternanam sejak dulu di Bali.
  2. Kasus Reklamasi Teluk Jakarta, Pada tahun 2015, bulan April, Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti meminta Pemda DKI untuk menghentikan reklamasi dengan alasan itu adalah wewenang pemerintah pusat. Pemda DKI menanggapi dengan mengatakan bahwa reklamasi 17 pulau bukanlah bagian dari NCICD, dengan demikian merupakan wewenang pemda sesuai dengan Keppres 1995 mengenai reklamasi Teluk Jakarta. Walhi,  Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan Indonesia (Kiara), dan sejumlah nelayan Muara Angke menggugat Pemda DKI karena telah menerbitkan izin untuk Pulau G untuk Pluit City di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN). Nelayan mengatakan reklamasi telah mengancam wilayah mereka mencari nafkah sehingga mereka harus berlayar lebih jauh. Beberapa nelayan juga bersaksi telah melihat lumpur mengambang di sekitar wilayah pembangunan Pulau G. The Jakarta Post menemukan gambar satelit dari Google Earth yang memperlihatkan bahwa KNI telah membangun Pulau C yang melekat pada Pulau D. Seharusnya antara kedua pulau dipisahkan kanal selebar kira-kira 300 meter. Izin Pulau C juga belum dipublikasikan pemda meski wartawan The Jakarta Post telah memintanya sejak bulan Oktober 2015. Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta memenangkan gugatan nelayan Jakarta Utara melawan PT Muara Wisesa Samudra dan Pemerintah DKI Jakarta yang mengeluarkan Izin Pelaksanaan Pulau G.
  3. Kasus pembunuhan petani dan aktivis anti-tambang Salim Kancil berawal dari aksi damai menolak tambang yang dia gelar bersama teman-temannya. Tak lama setelah menggelar aksi, Salim dan salah seorang rekannya, Tosan, dibawa paksa dan dianiaya oleh sekelompok orang. Salim tewas, sedangkan Tosan luka berat. Peristiwa ini dinilai sebagai representasi kekerasan yang dialami warga lokal di berbagai daerah di Indonesia yang memperjuangkan lahannya agar tidak dialihkan menjadi lokasi tambang.
  4. Kasus Rembang, Warga yang menyemen kakinya itu adalah bagian dari 110 warga Rembang, Pati, dan Kudus -tiga kawasan di pegunungan Kendeng- yang datang ke Jakarta untuk memprotes keputusan Gubernur Jawa Tengah, Ganjar Pranowo, yang memberikan izin baru bagi PT Semen Indonesia dan berujung pada kematian mbok patmi di depan Istana Negara.
  5. Gafatar dianggap menistakan agama karena berakar dari ajaran Al Qiyadah Al Islamiyah pimpinan Musadeq. Dalam ajaran itu, Musadeq sudah tersangkut masalah hukum karena mengaku sebagai nabi terakhir setelah Muhammad. Ajaran itu kemudian berubah menjadi Kom Milah Abraham pada 2009. Di dalamnya ajaran yang disampaikan masih sama, hanya saja dalam kemasan yang berbeda. Belakangan kelompok tersebut berubah menjadi Gafatar yang meresahkan masyarakat karena hilangnya sejumlah orang untuk berhijrah ke Kalimantan.
  6. Pembubaran Hizbu Tahrir Indonesia dengan merujuk pada perrpu no 2 Tahun 2017 tanpa diskusi lebih lanjut, Hizbu Tahrir Indonesia dinilai sebagai organisasi masyarakat yang bertentangan dengan tujuan, asas, dan ciri yang berdasarkan Pancasila dan UUD Negara Republik Indonesia tahun 1945 sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 tentang Ormas. Pemerintah memutuskan untuk merealisasikan wacana pembubaran HTI melalui penerbitan perppu.
  7. Darurat Agraria di Yogyakarta yang terjadi terjadi lebih dari dari 15 kali atas kesewenang-wenangan Sultan sekaligus Gubernur DIY melalui klaim Sultaanat Ground (SG) dan Pakualamanaat Ground (PAG) yang sebenarnya sudah ditiadakan sejak digulirkannya Undang-undang Pokok Agraria (UUPA) Tahun 1960, yang dikuatkan dengan Undang-undang Keistimewaan (UUK) No. 13 Tahun 2012, yang dijadikan alasan pencaplokan kembali tanah warga dengan dalih keistimewaan di . Sebagaimana diketahui, sampai saat ini UUPA adalah satu-satunya peraturan tentang Darurat Agraria dan berlaku di NKRI, termasuk di DIY. SG/PAG termasuk tanah swapraja (feodal) sudah dihapuskan oleh Diktum IV UUPA. UUK juga melarang penghidupan kembali feodalisme (Pasal 4) dan penyalahgunaan wewenang oleh Gubernur (Pasal 16). Sehingga, UUPA sebagai aturan khusus dari UUD 1945 Pasal 33 ayat (3) adalah dasar hukum yang mengatur pertanahan di DIY saat ini. Bahkan, pemberlakuan kembali Rijksblad 1918 (aturan pemerintah kolonial) dalam tata hukum NKRI adalah perbuatan makar. Siapapun yang terlibat dalam perbuatan makar diancam dengan Pasal 106 dan 110 KUHP. SG/PAG sudah dihapuskan oleh HB IX, PA VIII, beserta DPRD melalui Perda DIY No 3 Tahun 1984 yang merupakan pelaksanaan dari Keputusan Presiden No 33 Tahun 1984 dan UUPA.
  8. Dan yang paling membekas adalah ketidakadilan HAM yang diterima oleh saudara kita dari timur jauh indonesia, Papua. Dari zaman dahulu mereka selalu jadi korban, peristiwa Wasior tahun 2001, peristiwa Wamena tahun 2003, peristiwa Paniai dan terakhir yang masih hangat peristiwa tembagapura. Apa yang disebut perlawan pada ketidakadilan di Papua disebut gerakan separatis di Pulau Jawa. Sulitnya mengakses pemberitaan dari tanah Papua menyebabkan media hanya bisa menerima berita yang dikeluarkan oleh berita setempat yang seringnya selalu menyudutkan warga Papua dengan kisah “OPM yang diamankan oleh Aparat disana”.
Sebetulnya masih banyak kasus-kasus HAM yang tak terselesaikan di Indonesia. Sambil terus berjuang untuk membela keadilan lewat media yang tersedia, untuk orang-orang yang mendapat perlakuan represi, termarjinalkan, terdiskriminasi dan teraniaya hak-haknya, semoga kedepannya penyelesaian kasus HAM akan bisa dilaksanakan dengan baik oleh pemerintah dan semua pihak yang bertanggung jawab. Karena kami akan terus melakukan memperjuangkan keadilan, sampai keadilan ini bisa ditegakkan.
Kami ada dan berlipat ganda.


Selamat Hari Hak Asasi Manusia sedunia,
Bandung, 10 Desember 2017.

Comments

Popular Posts