KAMI #TOLAKASAPRIAU
Riau, provinsi yang terletak di pulau sumatra di Indonesia ini memiliki luas hutan sebanyak 9.036.835 Ha menurut dinas kehutanan Riau per taun 2015. Hutan yang luas ini membuat banyak pengusaha-pengusaha kaya memanfaatkan potensi alam ini untuk ekonomi semata tanpa menghitung dampak kerugian dari aspek lainnya.
Kebakaran hutan merupakan kejadian terbakarnya hutan baik secara sengaja maupun tidak sengaja. Skalanya bisa lokal pada luasan terbatas atau kebakaran hebat hingga jutaan hektar. Penyebab kebakaran hutan bisa alami ataupun karena kegiatan manusia.
Ada sedikit perbedaan antara istilah kebakaran hutan dan pembakaran hutan. Pembakaran identik dengan kejadian yang disengaja pada satu lokasi dan luasan yang telah ditentukan. Sedangkan kebakaran lebih pada kejadian yang tidak disengaja dan tak terkendali. Pada prakteknya, proses pembakaran bisa menjadi tidak terkendali dan memicu kebakaran.
Kebakaran hutan adalah pembakaran yang penjalaran apinya bebas serta mengkonsumsi bahan bakar alam dari hutan seperti serasah, rumput, ranting/cabang pohon mati yang tetap berdiri, log, tunggak pohon, gulma, semak belukar, dedaunan dan pohon-pohon (Suharjo: 2003)
Kebakaran hutan atau pembakaran hutan di Riau bukanlah sesuatu yang baru di Indonesia, tercatat dalam world research institute sebanyak 87% kebakaran terjadi di provinsi ini (www.wri.org), Kepala Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika Stasiun Pekanbaru, Sugarin mengatakan “tingkat ketepatan di atas 70%, maka diindikasikan ada 140 titik api”, bahkan pernah ada jargon untuk Riau yang berbunyi “Tak ada asap, maka tak Riau”.
Sangat disayangkan bahwa pemerintah terlihat kurang serius menangani pembakaran hutan di provinsi ini, atau mungkin para swasta bergelimang harta yang keras kepala tak kunjung mau bekerja sama.
Kebakaran hutan berdampak besar bagi kehidupan manusia, baik dampak langsung, dampak ekologis, dampak ekonomi, dampak kesehatan, dan dampak sosial. Sebagian besar dampak tersebut bersifat merugikan. Meskipun tidak dipungkiri ada dampak menguntungkannya walapun resikonya tidak sebanding dengan keuntungan tersebut.
Ada beberapa dampak menguntungkan dari peristiwa kebakaran hutan. Diantaranya membuat efek peremajan hutan. Membakar hutan juga pembesihan lahan dan penanaman. Humus yang terbakar juga bisa menyuburkan tanah dan mempercepat penambahan mineral dalam tanah. Tanah hutan yang telah terbakar relatif lebih subur untuk lahan pertanian atau perkebunan. Kebakaran hutan juga bisa memusnahkan hama dan penyakit. Kebakaran hutan yang kecil dapat menghindarkan kebakaran hutan yang besar.
- Dampak langsung
Kebakaran hutan menyebabkan kematian dan kerusakan properti dan infrastruktur. Tak sedikit juga meminta korban jiwa manusia. Bahkan kebakaran besar tak jarang harus dilakukan evakuasi permukiman penduduk
- Dampak ekologis
Kebakaran hutan merupakan bencana bagi keanekaragaman hayati. Tak terhitung berapa jumlah spesies tumbuhan dan plasma nutfah yang hilang. Akibat rusaknya vegetasi menyebabkan hutan tidak bisa menjalankan fungsi ekologisnya secara maksimal. Kebakaran hutan juga menyebabkan hilangnya habitat bagi satwa liar penghuni hutan.
Kebakaran hutan banyak melepaskan emisi karbon ke atmosfer. Karbon yang seharusnya tersimpan dalam biomassa hutan dilepaskan dengan tiba-tiba. Apalagi bila terjadi di tanah gambut, dimana lapisan tanah gambut yang kedalamannya bisa mencapai 10 meter ikut terbakar. Pengaruh pelepasan emisi ini ikut andil memperburuk perubahan iklim, meningkatkan suhu rata-rata permukaan bumi.
- Dampak ekonomi
Secara ekonomi hilangnya hutan menimbulkan potensi kerugian yang besar. Setidaknya ada tiga kerugian yang bisa dihitung secara ekonomi yakni, dari deforestasi, kehilangan keanekaragaman hayati dan pelepasan emisi karbon. Belum lagi dengan kerugian tidak langsung bagi masyarakat yang tinggal di sekitar hutan.
- Dampak kesehatan
Asap yang ditimbulkan oleh kebakaran hutan berdampak langsung pada gangguan kesehatan, khususnya gangguan saluran pernapasan. Asap mengandung sejumlah gas dan partikel kimia yang menggangu pernapasan seperti seperti sulfur dioksida (SO2), karbon monoksida (CO), formaldehid, akrelein, benzen, nitrogen oksida (NOx) dan ozon (O3). Material tersebut memicu dampak buruk yang nyata pada manula, bayi dan pengidap penyakit paru. Meskipun tidak dipungkiri dampak tersebut bisa mengenai orang sehat.
Saya, bahkan kami, warga Indonesia pasti mengerenyitkan dahi ketika melihat berita tentang pembakaran hutan di Riau. Kami kadang berfikir apakah belum ada efek jera terhadap tersangka? atau memang ini bukan suatu tindak kriminal? bila ini bukan tindak kriminal, berarti warga Riau yang menghirup udara kotor ini bukanlah korban. Fenomena alam? kurasa bukan, lebih kuanggap perusakan ekosistem bila tak ada reboisasi secara berkala. Saya berbicara seperti ini karena merasa iba terhadap saudara-saudara saya disana, saya bukan sarjana dari fakultas kehutanan, saya bukan orang Walhi yang concern terhadap lingkungan. saya cuma orang indonesia yang bingung ketika ada sesuatu besar terjadi di negara ini dan orang-orang seperti acuh akan keadaan ini.
Entah apa yang menyebabkan kebakaran atau pembakaran hutan ini terjadi tiap tahun. Saya hanya bisa memantau dan berharap derita warga riau ini segera berakhir.
Bandung, 13 September 2015. 3.22 PM
Comments
Post a Comment