KEKERASAN SEKSUAL DAN KULTUR UNIK DI INDONESIA.
Kurt Cobain, rockstar yang menyudahi hidupnya dengan menembakkan peluru ke kepalanya pernah mengatakan bahwa sebaik-baiknya pencegahan pemerkosaan pada wanita bukan hanya tentang mengajarkan pertahanan diri kepada perempuan, juga harus mengajarkan kepada para lelaki utuk menyimpan dan menggunakan “burungnya” baik-baik. Di negara yang begitu timur seperti Indonesia ini, masih saja banyak perlakuan pemerkosaan atau dihalusbahasakan menjadi kekerasan seksual dan hukumannya pun masih terasa belum optimal bagi sebagian korban atau warga lainnya yang juga geram dengan perlakuan seenak dewe’ ini.
“Rape is one of the most terrible crime on earth and it happens every few minutes. The problem with groups who deal with rape is that they try to educate women about how to defend themselves. What really needs to be done is teaching men not to rape. Go to the source and start here.” – Kurt Cobain.
Tulisan ini bukan semata-mata karena saya tak pandai meraih hati wanita untuk dibawa ke kostan alih-alih nonton film streaming-an dan dilanjut dengan pemadaman lampu secara sengaja ditengah gelinjangan dua muda-mudi bertema suka-sama-suka featuring khilaf didalam ruangan 3x3m tanpa pengawasan siapapun kecuali Malaikat dan Tuhan yang Maha Melihat ini. Sungguh benar, kemuakan dan rasa geram ini membuat saya harus menulis essai ini untuk tahu bagaimana pandangan para pembaca yang mungkin sama atau malah berbeda sama sekali menanggapi masalah kekerasan seksual ini.
Pak Kapolri Tito Karnavian dikritik karena dianggap melanggengkan rape culture. Dalam wawancara pada BBC Indonesia ia menyebut bahwa pihak kepolisian harus mengikuti prosedur yang berlaku saat menangani korban perkosaan. Korban yang diperkosa harus melalui rangkaian prosedur wawancara sebagaimana korban kejahatan lainnya.
“Misalnya dalam kasus pemerkosaan, terkadang polisi harus bertanya kepada korban, apakah Anda merasa baik-baik saja setelah diperkosa? Pertanyaan semacam itu sangat penting. Jika saya diperkosa, bagaimana perasaan saya selama pemerkosaan terjadi, apakah nyaman? Jika nyaman, itu bukan pemerkosaan.” - Tito Karnavian
Sebenarnya tak ada yang salah dalam pernyataan yang dilontarkan Pak Kapolri ini. Hanya saja, terasa seperti korban yang biasanya perempuan ini menjadi objek kultur indonesia tentang pahamaman yang harusnya segera diluruskan.
Begini, jadi ketika kamu menjadi korban kekerasan seksual, kamu perlu bukti visum untuk lapor polisi dan untuk mendapatkan bukti visum harus ada surat pengantar dari kepolisian. Kalau pihak kepolisian menganggap kalian kurang meyakinkan, maka tak adalah itu surat pengantar kepolisian untuk melakukan visum. Proses tak berujung ini penyebabnya adalah karena secara umum beranggapan bahwa perempuan diperkosa karena salahnya sendiri, seperti menggunakan pakaian minim atau kata-katanya yang terlalu membuat birahi pria naik cepat dan atau sebagainya.
Pihak kepolisian, seperti yang diucapkan oleh Kapolri, harus bertindak sesuai prosedur yang berlaku. Prosedur penanganan kasus kekerasan seksual di Indonesia mewajibkan korban untuk meyakinkan kepolisian bahwa si korban téh benar-benar diperkosa. Alasannya supaya tidak salah tangkap, atau terjadi asumsi seperti “sebenarnya perempuan itu doyan, tapi karena kesal titi* cowonya kecil atau cowoknya nyebelin, kemudian mengaku diperkosa”. Logika menganggap bahwa perempuan itu binal dan jalang, sementara laki-laki selalu suci dan mawas diri sepertinya menjadi kultur yang
kental di Indonesia.
kental di Indonesia.
Kalau semisal pemerkosaan/kekerasaan seksual sudah sampai memasukan penis ke dalam vagina saja perempuan sudah disulitkan dengan pertanyaan seperti, “apakah kamu nyaman ketika terjadi pemerkosaan?”, “apakah kamu mabuk ketika terjadi pemerkosaan?”, “apakah kamu menggunakan narkoba atau obat-obatan terlarang ketika terjadi pemerkosaan?” atau pertanyaan lebih parahnya, “apakah gestur tubuh dan pakaian mu mengundang ketika terjadi pemerkosaan?”, bagaimana dengan korban catcalling “mau kemana, neng?”, “witwiw, sendiri aja neng?”, sampai yang paling menjijikan “neng, ikut abang dangdutan, yuk?” ala-ala ojek pangkalan dan pemuda pengangguran penganut kultur kuno konservatif yang suka
nongkrong di gapura gang-gang Indonesia?
nongkrong di gapura gang-gang Indonesia?
Pada Kamis (12/5/2016), mengutip berita dari mojok.co, Presiden Indonesia kelima, Megawati Soekarnoputri, menghadiri diskusi bertajuk Indonesia Melawan Kekerasan Seksual di Roemah Kuliner Kompleks Metropole Megaria Jakarta Pusat. Banyak surat kabar mengutip, Bu Mega bicara, “Saya gemas jika melihat wanita yang lembek. Namun bukan berarti tidak dandan dan kelaki-lakian, bukan seperti itu. Saya ingin yang bisa membela diri, sehingga terhindar dari kekerasan seksual.” Gini lho, buk, laki-laki sudah wajib dan seharusnya belajar menaruh hormat pada vagina. Sebab vaginalah rantai asal-usul manusia dimulai untuk kemudian diluhurkan ke dunia. Bahkan payudara dan tiap jengkal tubuh wanita sudah wajib kita hormati.
Payudara adalah karunia Tuhan, seperti jakun yang tumbuh di dalam tenggorokan pria, tak perlu dibahas bentuk dan ukurannya. Payudara adalah anugerah alami dan harus disyukuri, sebagai wadah sumber nutrisi bayi, yang kelak menjadi manusia dewasa dan bertempur menghadapi semakin kerasnya kehidupan dari masa ke masa. Mengapa sulit sekali menghormati vagina dan payudara? Mengapa kedua bagian tubuh tersebut selalu menjadi objek pornografi?
Karena kultur ketimuran yang kita miliki, perempuan saja enggan membahas dan menyebut kedua bagian tersebut kepada anak, adiknya, teman bahkan orang tuanya sendiri, kalimat seperti “ssttt…”, “aiihh malu…” atau “jangan bicarakan itu…” sering terlontar oleh banyak kaum hawa ini.
Mengapa kaum hawa tidak terbiasa memberi penjelasan secara biologis tentang vagina dan payudara? seperti fungsi, cara menjaga dan merawatnya, kapan vagina boleh berhubungan dengan penis, bagaimana tata caranya, serta berbagai akibat yang terjadi jika tata cara itu diabaikan. Mengapa hal ilmiah nan logis seperti ini justru masih dianggap tabu? Padahal penjelasan seperti itu dapat membuka wawasan dan kehormatan atas tubuh perempuan.
Lalu jika kalian masih berifikiran bahwa hal tersebut adalah sesuatu yang jorok, tidak etis, menjijikan bahkan masih memiliki fikiran mesum setelah membaca tulisan ini, ya terserah sih, ini mah anggapan saya saja. Belajar lagi geura tentang rasa hormat, termasuk belajar bagaimana mengucapkan vagina dan payudara dengan hormat, bukan laknat.
Semoga dengan kesadaran akan rasa hormat, tidak ada lagi pemaksaan, tidak ada lagi perkosaan. Dan semoga kita, warga Indonesia semakin mengerti bahwa mendidik laki-laki untuk menghormati perempuan juga harus dilakukan ketimbang mewajibkan perempuan berlatih menggunakan belati untuk bela diri, menggunakan pakaian minim, dan lain-lain, diluar konteks yang bertabrakan dengan hukum keagamaan.
Kasus pemerkosaan bukan soal nyaman atau tidak, karena consent atas pemerkosaan adalah kesalahan bagaimana pun keadaan dan motifnya. Kalau nalar seperti rasa nyaman pada korban ketika terjadi pemerkosaan dianggap bukan perkosaan, apakah bisa dipakai dalam kasus ditabrak bukan usaha pembunuhan karena, alhamdulillah korbannya tetap hidup dan bernafas, walau meninggalkan trauma mendalam?
Bandung, 21 Oktober 2017
Comments
Post a Comment