NETFLIX KU SAYANG, NETFLIX KU MALANG. UWUWUWU~
Amerika Serikat, tempat dimana netflix menjadi raja media streaming untuk hiburan berbentuk audio-visual lambat laun semakin berkembang dan penggunanya menjadi semakin banyak. Mereka mengenalkan cara menikmati hiburan lewat sebuah alat elektronik bernama televisi, dipadukan dengan jaringan internet dan aliran listrik, kita bisa menikmati televisi dengan gaya baru.
Konten audio-visual yang disajikan oleh netflix tak hanya bisa dinikmati lewat televisi saja, dari smartphone yang merk cina itupun kalian tetap bisa menikmatinya. Dimanapun, kapanpun asal ada koneksi internet. Dengan banyaknya konten yang disediakan oleh Netflix ini, Mereka ini benar-benar membuat kita merubah cara menikmati suatu acara. Hal seperti terpaksa harus menunggu tiap episode perminggu (biasanya) untuk menikmati satu season penuh itu sebuah gaya lama, Netflix menyediakan satu season penuh ketika konten itu di upload di berandanya, no more waiting. Konten audio-visual kini tak hanya bisa disaksikan di televisi, melainkan juga bisa lewat gawai pribadi, kapan pun, di mana pun (tergantung koneksi internet). Dengan belasan ribu konten, baik titipan maupun produksi sendiri, Netflix mengubah total cara menonton televisi. “Binge watching”, alias terus-menerus menonton tanpa henti.
Siapa yang mau menolak kalau produk Netflix ini memang berkualitas? Stranger things, Black Mirror, Master Of None, House Of Cards, Orange Is The New Black, 13 Reason Why, ah banyaklah pokoknya. Kenikmatan maha dahsyat ini berbenturan dengan peraturan Pemerintah Republik Indonesia yang “jadul”, belum semua peraturan di Indonesia bisa mengakomodir kemajuan teknologi. Bukan hanya di Indonesia, beberapa Negara di Asia dan Afrika menegaskan kalau Netflix sebagai “konten asing yang bisa merusak nilai moral anak-anak” karena Netflix tidak melewati Badan Sensor.
Mirip seperti fenomena benturan regulasi Ojek Online, padahal mereka memiliki badan hukum yang resmi dan terdaftar di Kemenkumham di Indonesia. Tapi Netflix tidak memiliki badan hukum di Indonesia, mereka adalah pemain asing yang melakukan semua transaksi dari perusahaan langsung kepada konsumen dengan kartu kredit. Karena tidak memiliki badan hukum di Indonesia dan tidak bekerja sama dengan pebisnis lokal disini, maka bisa dipastikan Negara tidak akan menikmati pajak penghasilan dari mereka yang mengeruk keuntungan, ini ada dalam UU 25 tahun 2007 tentang Penanaman Modal Asing.
Maka dari itu, Pemerintah dalam hal ini langsung bereaksi. Menurut data yang disadur oleh remotivi melalui Asosiasi Penyedia Jasa Internet Indonesia, pendapatan bagi pemain asing ini sangat besar, sekitar 15 triliun per tahun. Ada Facebook dengan US$ 500, US$ 120 juta dari twitter, US$ 90 juta ke Linked In, belum lagi Google dan lain-lainnya. Uang-uang ini sebagian mengalir bebas kepada mereka tanpa kenapa kutipan pajak sama sekali. Mantap yha.
Netflix ini masuk pada layanan kategori penyelenggara sistem elektronik (PSE). Jadi kalo mereka mau berbisnis di Indonesia, wajib memiliki Badan Usaha Tetap (BUT). Bapak Rudiantara sebagai Menkominfo yang baru-baru ini memblokir website kesayangan kita semua seperti cinemaindo dan tumblr padahal masih diakalin pake proxy luar negeri, bilang kalo kebijakan ini dibuat karena UU yang ada di kita seperti UU penyiaran, UU Perfilman, UU ITE, sampai UU Telekomunikasi belum menjangkau layanan seperti Netflix ini.
Bisa saja aturan baru dikeluarkan kaya Peraturan Menteri atau Surat Keputusan Bersama antar lembaga yang berkaitan seperti Kemenkominfo, Kemendikbud, Kemeko Perekonomian dan lain-lainnya, tapi kan kita tahu sendiri bagaimana njlimet dan ribetnya birokrasi yang ada di tanah air kita ini, dan Kemenkominfo ini masih terlihat ragu-ragu atau gamang buat menerapkan aturan terhadap Netflix.
Kalau kita dikasih berandai-andai, jika, kalau peraturannya nanti udah ada dan Netflix nurut, apakah bakalan ganggu perbisnisan stasiun televisi yang ada di Indonesia, baik yang gratis ataupun yang berbayar? CEO Netflix Reed Hasting ini sesumbar bilang kalau nanti di Amerika Serikat pada tahun 2030 televisi siaran bakalan mati kaya bisnis batu akik di Indonesia. Padahal statistik dari siaran Netflix ini engga dipublikasikan secara gamblang dan terbuka.
Menurut saya yang kadang-kadang masih menonton siaran televisi konvensional, Netflix atau layanan streaming berbayar lainnya kaya Amazon, Hulu atau apapun ini walaupun kontennya banyak dan keren menurut para kaum kelas menengah ngehe dan papan atas, nggak akan buat bisni stasiun televisi ini tamat. Apa sebab? Televisi konvesional punya kemampuan menghadirkan aktualitas kaya berita dan acara olahraga. Bahkan debat Pilgub 2018 ini atau Pilpres 2019 nanti.
Banyak orang yang bilang Telkomsel yang memblokir Netflix dianggap sebagai sebuah ketakutan kalo Netflix bakalan jadi pesaing head-to-head dan berat untuk UseeTV milik mereka, atau Hooq yang dimiliki SingTel karena selain Telkom Indonesia, SingTel ini juga punya saham juga di Telkomsel. Uniknya MNC PlayMedia, dilansir dari CNN Indonesia tidak menganggap Netflix sebagai saingan, “Kami memprediksi Netflix tidak menjadi faktor pengganggu, sebab kami mempertimbangkan dan menempatkannya sebagai pelengkap bagi pelanggan," sanggah Aditya Haikal, Head of Marketing MNC PlayMedia.
Tidak kalah penting dari peraturan mengenai layanan jasa streaming, untuk bisa menikmati Netflix ini harus punya sambungan internet yang stabil, Indonesia ini kadang kena hujan dikit juga goyang sinyalnya dan anggapan kalau memiliki kartu kredit itu tidak bagi kesehatan finansial masih sangat dipercaya dan berlaku di Indonesia sementara kita harus membayar menggunakan kartu kredit untuk proses pembayarannya. Kecuali kalian beli akun Netflix sharing yang kalau lagi enak-enak nonton langsung di block sama yang punya akun.
Netflix ini merekomendasikan minimal kecepatan ada di 1,5 Mbps biar enak nontonnya. Kalau mau lebih tinggi lagi kualitasnya, High Definition (HD) butuh koneksi kecepatan internet sampai 5 Mbps atau 25 Mbps kalau mau Ultra HD. Kita semua faham kalau mau internet cepat kita harus bayar lebih mahal dan ekonomi di Indonesia ini kan rada-rada (asu-lit). Belum lagi jaringan internet di smartphone atau mobile yang stabilnya cuma di Kota besar di Indonesia.
Terus apakah Netflix berpengaruh pada tingkat pembajakan karya? Karena Netflix biasanya hanya digunakan oleh orang-orang yang tinggal di Kota Besar di Indonesia dan mengerti juga mampu membayar layanan jasa streaming hiburan audio-visual dan muak dengan acara seperti berita politik-politik adu domba, perang antar agama, acara musik alay pagi atau apapun yang ada uya kuya- nya, sepertinya Netflix tidak akan menjadi pembunuh bisnis siaran televisi konvensial gratisan yang banyak iklannya ini. Netflix Cuma akan jadi pelengkap dari pelbagai hiburan yang semakin “lieur” (kalau kata orang sunda), Cuma mereka dengan kriteria yang saya sebutkan tadi yang menikmati Netflix.
Masalah yang paling mungkin terjadi sepertinya hanya tentang budaya yang sulit disesuaikan dengan yang ada di Indonesia. Tidak semua konten Netflix ini akan lulus sensor di Indonesia kalau mengikuti runut “Kesusilaan, Kearifan lokal dan Adat Ketimuran” Indonesia. Resminya UU soal sensor film akan pukul mundur konten-konten gagal lulus sensor yang ada di Netflix . Padahal Netflix menyediakan fitur parental control, tapi ya itu tadi, wajar “disana”, belum tentu wajar di Indonesia.
Ribetnya lagi Netflix ini ada di antara persilangan aturan, jadi agak susah-susah-gampang diterima sama Pemerintah di Indonesia. Jadi kalaupun ada aturan baru, harus ada koordinasi lintas kementerian yang njlimet dan ribetnya minta ampun. UU No. 33 tahun 2009 tentang perfilman mengatur kalau usaha pertunjukan film yang dilakukan melalui layar lebar, penyiaran televisi dan jaringan teknologi informatika harus memiliki Badan Usaha di Indonesia, dan Netflix ini masih belum punya Badan Usaha dan kantor yang ada di Indonesia. Terus pasal 41 di UU yang sama, mempertegas kewajiban Pemerintah untuk mencegah masuknya film impor yang bertentangan dengan nilai-nilai kesusilaan. Contoh termudah, gagal masuknya film Fifty Shades of Grey dkk.
Dan paling terakhir dari masalah-masalah administrasi ribet yang membebani Netflix sudah selesai, masih ada juga masalah nilai-nilai kesusilaan, adat ketimuran, dan (hal lain yang Indonesia banget), untuk menjaga sebuah nilai-nilai tersebut masalahnya ada di sensor. Nah, emang bisa menyensor konten yang servernya aja nggak ada di Indonesia?
Oh iya, saya salah satu dari sekian banyak pengguna layanan jasa dari Netflix.
catatan kaki:
http://www.remotivi.or.id/amatan/259/Netflix-Disayang,-Netflix-Dilarang
Comments
Post a Comment