PENINGKATAN EKONOMI DAN PEMERATAAN PEMBANGUNAN INI UNTUK SIAPA?
Sebelum membaca tulisan ini (mudah-mudahan ada) saya ingatkan dahulu, tulisan ini sedang tidak menyudutkan tokoh manapun. Oh iya, tulisan ini cukup panjang, kalau pembaca tidak cukup peduli, dan tidak cukup ingin tahu masalah ini, lebih baik tutup saja blog ini, karena hanya akan membuang waktu kalian. hehehe
Banyaknya lahan tanam atau rumah mukim rakyat yang berubah menjadi bangunan atas nama kemajuan ekonomi kerakyatan, membuatku teringat satu nama, Marsinah. Seorang perempuan yang berasal dari desa Nglundo, Sukomoro, lahir pada tanggal 10 April 1969, ia bekerja sebagai buruh di sebuah pabrik arloji, PT. Catur Putra Surya, Porong, Sidoarjo. Apa sebab dia menjadi buruh? Akibat lahan pertanian yang semakin sempit dan kemiskinan masyarakat pedesaan. Berasal dari kalangan buruh tani yang kemudian dipaksa mencari pekerjaan di kota. Sosoknya yang selalu dikenang oleh kaum buruh dan aktivis karena kematiannya yang tragis disaat menjalankan protes terhadap perusahaan tempatnya bekerja.
Kembali ke kasus pembangungan yang tak mengenal istirahat ini, berapa banyak lahan tanam yang disulap menjadi bangunan beton? Yang memaksa rakyatnya menjadi bergeser kepada urbanisasi tanpa persiapan pendidikan dan pengalaman yang mumpuni untuk bekerja di kota. Sekarang ini sedang keranjingan pemerintah dalam hal pembangunan, semuanya dibangun, salah satu dari sekian banyak ini adalah pembangunan New Yogyakarta Internasional Airport. Kita telisik konflik mega proyek pembangunan bandara New Yogyakarta International Airport (NYIA) di Kabupaten Kulon Progo, yang semakin hari, semakin masif. Tanpa takaran dialog yang cukup memadai, kebijakan yang bersikukuh untuk melancarkan dan merealisasikan proyek. Penolakan rakyat pun menjadi konflik terbuka yang berujung pada kekerasan. Apakah proses dari demokrasi dan jejak pendapat harus menggunakan kekerasan? Rakyat punya posisi tawar yang tegas untuk tanahnya kepada para elit penguasa dan pengusaha.
Rencana pembangunan bandara di kulon progo ini ternyata sudah lama, ketika masih dipegang oleh Bupati sebelumnya. Pada akhir 2011, isu ini mulai naik di masyarakat dan pada tahun 2012 isu pembangunan bandara Kulon Progo semakin sering terdengar dan mulai ada pertentangan di masyarakat, baik yang setuju atau tidak. Sedikitnya ada lima desa terdampak dalam pembangunan NYIA ini, Desa Palihan, Glagah, Sindutan, Kebonrejo dan Desa Jangkaran. Pembangunan bandara di Kabupaten Kulon Progo lebih tepatnya di Kecamatan Temon adalah hasil dari kajian tempat sebelumnya, berkaitan dengan kelayakan lokasi penerbangan. Alasan kenapa diperlukan NYIA sebagai bandara baru menggantikan Adi Sucipto, yaitu;
Pertama,
Bandara Adi Sucipto tak lagi mampu menampung pesawat take off dan landing. Kapasitas Bandara Adi Sucipto adalah 1,2 juta s/d 1,5 juta (sumber: Angkasa Pura I), sedangkan jumlah per 2014 saja sudah mencapai 6,2 juta penumpang. Belum parkir dan lain-lainnya.
Kedua,
Menurut Pemerintah, Bandara baru memang dirasa perlu. Yogyakarta sebagai destinasi wisata yang sering dikunjungi oleh lokal maupun mancanegara. Diperlukan Bandara yang efektik, efisien dan nyaman. Kenapa ada NYIA, dikarenakan transportasi lewat udara lebih cepat dan akan mendongkrak tingkat kunjung yang berpengaruh langsung terhadap peningkatan ekonomi di wilayah tersebut.
Ketiga,
Bandara Adi Sucipto ini milik TNI AU sebagai pangkalan udara, seperti Bandara Husein Sastranegara di Bandung atau Bandara Halim Perdana kusumah di Jakarta yang peruntukannya bukan untuk komersil.
Tetapi pembangunan di Kecamatan Temon, Kulon Progo menemui penolakan dari masyarakat yang khususnya petani, sehingga pembangungan yang semula direncakan pada tahun 2016 sudah dimulai, belum juga dapat direalisasikan. Penolakan pembangunan bandara dilakukan masyarakat yang benar-benar menolak, seperti kelompok Wahana Tri Tunggal dan masyarakat yang mendukung dengan mengajukan beberapa syarat.
Diantaranya soal ketenagakerjaan, ganti rugi lahan milik masyarakat, Sultan Ground dan Pakualaman Ground, dan Relokasi gratis. Namun dari empat syarat yang diajukan oleh masyarakat yang pro bersyarat, ada satu yang belum bisa disepakati dari pihak PT. Angkasa Pura I yaitu mengenai relokasi gratis.
Diantaranya soal ketenagakerjaan, ganti rugi lahan milik masyarakat, Sultan Ground dan Pakualaman Ground, dan Relokasi gratis. Namun dari empat syarat yang diajukan oleh masyarakat yang pro bersyarat, ada satu yang belum bisa disepakati dari pihak PT. Angkasa Pura I yaitu mengenai relokasi gratis.
Setelah kita urai pendahuluan pada paparan yang panjang tersebut, dengan pengetahuan penulis yang terbatas ini akan diurai hasil analisis tentang faktor penyebab konflik secara deskriptif tentang kasus agraria yang berkepanjangan ini.
KONFLIK BERKEPANJANGAN
Akar konflik yang tampak terlihat sekali adalah soal tanah. Status tanah Sultan Ground atau Pakualaman Ground ini. Sementara warga klaim berhak atas tanah pesisir yang mereka kelola lebih dari 15 tahun, Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat pun mengacu pada pemberlakuan Rijksblad Kasultanan Yogyakarta No. 16/1918 dan Rijksblad Pakualaman No.18/1918, padahal klaim Negara atas tanah nir-sertifikat sebagai “tanah negara” sesungguhnya didasarkan pada hukum kuno zaman kolonial yang sudah seharusnya tidak berlaku lagi. Konsep Klaim pemerintah atas tanah nirsertifikat sebagai “tanah negara” sesungguhnya didasarkan pada hukum kuno kolonial yang sudah tidak berlaku lagi, yaitu konsep Domein Verklaring pada ketentuan Agrarisch Wet/Besluit 1870 (AB 1870), Ketentuan ini dahulu memberikan wewenang bagi Gubernur Jenderal di bawah pemerintahan kolonial untuk secara sepihak merampas tanah yang diduduki oleh warga dengan alasan ilegal. Warga tak tinggal diam, mereka menuntut sertifikasi atas tanah lahan pesisir tersebut. Padahal dalam UU No 5/1960 tentang Aturan Dasar Pokok-Pokok Agraria menyebutkan Negara hanya diberi wewenang untuk, (1)
Mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan dan pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa tersebut, (2) Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dengan bumi, air dan ruang angkasa. (3) Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dan perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi, air dan ruang angkasa. Adanya dualisme pelaksanaan hukum itu, menurut ilmu hukum yang teman penulis ajarkan bisa jadi bertentangan, ketentuan hukum yang lebih tinggi menghapus ketentuan hukum yang lebih rendah (lex superior derrogat legi inferiori) lalu hukum yang dahulu dapat diganti atau dihapuskan oleh hukum yang paling baru (lex posterior derrogat legi priori)
Mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan dan pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa tersebut, (2) Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dengan bumi, air dan ruang angkasa. (3) Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dan perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi, air dan ruang angkasa. Adanya dualisme pelaksanaan hukum itu, menurut ilmu hukum yang teman penulis ajarkan bisa jadi bertentangan, ketentuan hukum yang lebih tinggi menghapus ketentuan hukum yang lebih rendah (lex superior derrogat legi inferiori) lalu hukum yang dahulu dapat diganti atau dihapuskan oleh hukum yang paling baru (lex posterior derrogat legi priori)
Kebijakan yang dihasilkan dari dualisme hukum dan peraturan tersebut akan timpang. Di tingkat lokal kabupaten, provinsi dan pusat. Selain hasil akan bias kepentingan elit pusat yang berkuasa, dan elit-elit lokal akan mengoptimalisasi penguasaan sumber ekonomi yang ada di kawasan. Hasil dari ketimpangan tersebut akan disambut baik oleh
pihak ketiga, yaitu investor. Investor tak akan ragu untuk menginvestasi modalnya dari pusat hingga ke daerah demi kelancaran pembangunan tersebut. Sementara eksistensi masyarakat yang tak dipedulikan oleh penguasa dan penguasaha akan terenggut sumber kesejahteraannya dengan cara yang tak adil dan manusiawi, hasil buruknya adalah masyarakat terpaksa mencari sumber penghidupan melalui urbanisasi tanpa bekal yang cukup, di deportasi oleh operasi yustisi dan bingung harus kemana lalu mati dalam kemiskinan. Layaknya Marsinah yang setelah berjuang melawan ketidakadilan dan menghilang selama 3 hari, tubuhnya ditemukan tak bernyawa di hutan di dusun Jegong, Kecamatan Wilangan, Nganjuk, pada tanggal 8 Mei 1993 (yang kemudian dikenal sebagai Hari Marsinah). Hingga hari ini kasusnya masih belum menemukan kejelasan tentang siapa yang sebenarnya bertanggung jawab. Lalu kita kembali lagi bicara keadilan sosial untuk seluruh rakyat Indonesia. Cuih.
pihak ketiga, yaitu investor. Investor tak akan ragu untuk menginvestasi modalnya dari pusat hingga ke daerah demi kelancaran pembangunan tersebut. Sementara eksistensi masyarakat yang tak dipedulikan oleh penguasa dan penguasaha akan terenggut sumber kesejahteraannya dengan cara yang tak adil dan manusiawi, hasil buruknya adalah masyarakat terpaksa mencari sumber penghidupan melalui urbanisasi tanpa bekal yang cukup, di deportasi oleh operasi yustisi dan bingung harus kemana lalu mati dalam kemiskinan. Layaknya Marsinah yang setelah berjuang melawan ketidakadilan dan menghilang selama 3 hari, tubuhnya ditemukan tak bernyawa di hutan di dusun Jegong, Kecamatan Wilangan, Nganjuk, pada tanggal 8 Mei 1993 (yang kemudian dikenal sebagai Hari Marsinah). Hingga hari ini kasusnya masih belum menemukan kejelasan tentang siapa yang sebenarnya bertanggung jawab. Lalu kita kembali lagi bicara keadilan sosial untuk seluruh rakyat Indonesia. Cuih.
ESKALASI KONFLIK
Pembangunan New Yogyarkarta International Airport (NYIA) ditandai dengan peletakan batu pertama oleh Presiden Joko Widodo. Pembangungan ini harus segera dilaksanakan, sebab perencanaan yang sudah terlalu lama dan Bandara Adi Sucipto yang tak mampu lagi menampung pertumbuhan kunjungan ke Yogyakarta dan sekitarnya akibat keterbatasan lahan yang sampai pada tahun 2016 saja sudah mencapai 7,2 juta penumpang. Perencanaannya, Bandara NYIA akan dibangun secara bertahap. Sebenarnya masyarakat sempat menang pada gugatan ke PTUN, tetapi pihak pemerintah memenangkan kasasi dan memenangkan gugatan. Dengan itu pemerintah sambil berusaha melanjutkan pembangunan, menyiapkan juga tiga skema ganti untung sesuai aturan yaitu pembayaran tunai, relokasi dan pemberian tanah kepada warga terdampak. Tetapi, kalau dilihat proses pembangunan dan pemilihan lokasi di Kecamatan Temon, Kulon Progo, ada beberapa kejanggalan yang dihimpun dan dapat dibuktikan oleh ahlinya masing-masing.
Pertama,
Perpres Nomor 28 tahun 2012 tentang RTR Pulau Jawa-Bali menyebutkan; Kabupaten Kulonprogo jadi salah-satu wilayah yang ditetapkan sebagai zona rawa bencana alam geologi (pasal 46 Ayat 9 huruf d). Lalu, ada perda provinsi DIY yang menetapkan bahwa sepanjang pantai di Kabupaten Kulon Progo ini adalah kawasan rawan tsunami. menilik perda tentang RTRW Provinsi DIY Nomor 2 Tahun 2010, sepanjang pantai di Kabupaten Kulonprogo telah ditetapkan sebagai kawasan rawan tsunami (pasal 51 huruf g). Bahkan, Perda Kabupaten Kulonprogo Nomor 1 Tahun 2012 Tentang RTRW Kabupaten
Kulonprogo pun lebih detail menyatakan bahwa kawasan rawan tsunami salah-satunya
meliputi Kecamatan Temon (Pasal 39 ayat 7 huruf a)
Kulonprogo pun lebih detail menyatakan bahwa kawasan rawan tsunami salah-satunya
meliputi Kecamatan Temon (Pasal 39 ayat 7 huruf a)
Kalau penataan ruang berbasis mitigasi bencana alam, kenapa menetapkan suatu lokasi pembangunan untuk umum di dalam kawasan rawan bencana yang dapat menggangu kenyamanan dan keselamatan. Apalagi, secara geografis Indonesia di bagian Pulau Jawa Selatan dan Selat Sunda berada di lingkaran rawan bencana. Kemudian, potensi bencana tsunami di Kecamatan Temon diamini oleh Dr. Eko Teguh Paripurno, Ketua Pusat Studi Manajemen Bencana UPN Yogyakarta. Menurutnya, Temon merupakan daerah rawan gempa yang dapat memicu tsunami. Jika kita berbicara potensi gempa, potensi terjadinya pun cukup besar di lokasi pembangunan NYIA.
Kedua,
Indikasi kejanggalan dalam proses AMDAL dan perumusan kebijakan yang terlihat muncul secara sepihak. indikasi kejanggalan dalam proses studi AMDAL dan proses perumusan kebijakan yang menyebabkan munculnya kebijakan yang dapat dikatakan muncul secara sepihak. Dosen hukum lingkungan Universitas Gadjah Mada, Harry Supriyono menyatakan bahwa Studi Amdal seharusnya dilakukan sebelum penerbitan IPL (Izin Penetapan Lahan) bandara. Harry mengatakan dasar Amdal harus ada sebelum IPL yakni UU Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum dan Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum. Dalam aturan itu dijelaskan bahwa studi kelayakan lahan yang berwujud Amdal harus sudah ada sebelum adanya pembebasan lahan. Proses rencana pembangunan bandara di Kulon Progo sudah sampai pembayaran ganti rugi, tapi studi Amdal baru mau dilakukan. Proses ini jelas sudah cacat hukum.
Direktur Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Yogyakarta, Halik Sandera, mengungkapkan dalam sebuah proyek pembangunan sudah semestinya ada instrumen pencemaran lingkungan hidup. Termasuk dalam hal pencegahan pencemaran lingkungan akibat dampak pembangunan bandara Kulon Progo.
Amdal menjadi bagian keluarnya kelayakan lingkungan. Jika studi kelayakan lingkungan tidak ada, izin pembangunan harusnya tidak bisa dikeluarkan. Sebelumnya, IPL proyek pembangunan NYIA dengan Nomor 68/KEP/2015, telah dikeluarkan Gubernur DIY Sri Sultan Hamengku Buwono X pada 2015. Maret 2015, warga Kulon Progo menggugatnya di Pengadilan Tata Usaha Negara. Menang di tingkat gugatan, warga kalah di tingkat kasasi yang disidangkan Mahkamah Agung.
Amdal menjadi bagian keluarnya kelayakan lingkungan. Jika studi kelayakan lingkungan tidak ada, izin pembangunan harusnya tidak bisa dikeluarkan. Sebelumnya, IPL proyek pembangunan NYIA dengan Nomor 68/KEP/2015, telah dikeluarkan Gubernur DIY Sri Sultan Hamengku Buwono X pada 2015. Maret 2015, warga Kulon Progo menggugatnya di Pengadilan Tata Usaha Negara. Menang di tingkat gugatan, warga kalah di tingkat kasasi yang disidangkan Mahkamah Agung.
Ketiga,
Kompensasi yang dijanjikan kepada warga terdampak juga masih simpang-siur. Marjinaliasi warga, padahal bagi mereka yang setuju dan telah mendatangani kesepakatan, ada upaya relokasi dengan ganti tanah dari PAG (Paku Alaman Ground). Adapun tanah yang sudah disiapkan tersebut adalah berupa tanah lapang dan beberapa bangunan. Nantinya Pemerintah Kabupaten Kulon Progo diwajibkan untuk membangun perumahan sebagai wialayah relokasi warga dan tanah tersebut bersifat kontrak atau sewa. Sudah diusir, masyarakat juga harus membayar tanah yang “dikomersialiasi” untuk mereka tinggali. Padahal, lahan untuk pembangunan bandara adalah mayoritas adalah milik warga terdampak. Ancaman yang muncul dari pembangunan ini tidak hanya hilangnya lapangan pekerjaan, namun juga indikasi marginalisasi petani.
PENYELESAIAN KONFLIK
Setelah dua bagian membahas tentang konflik dan eskalasinya, kita coba tawarkan beberapa kemungkinan penyelesaian skenario dalam permasalahan mega proyek NYIA di Kulon Progo, Yogyakarta. Terasa arogan dan ambisius untuk memaparkan konflik yang sudah berjalan 5 tahun lebih hanya dengan tulisan kecil ini. Sebelumnya penulis catat entry point pada penyelesaian konflik tersebut.
Pertama,
Dijelaskan dalam ulasan di atas bahwa proyek pembangungan ini merupakan milik Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah yang tak bisa diganggu oleh pihak manapun, termasuk masyarakat terdampak yang bertentangan dengan mereka. Pemerintah Daerah Kulon Progo, dibuat sebagai tombak untuk mengurusi dan menyelesaikan “warga yang berontak” dan “investor yang sudah menandatangani kontrak”. Jelas lintasan jalur eksekutif dari pusat hingga daerah ini tidak akan membuat suatu konflik internal, karena semua sudah menjalankan dan mendapatkan “porsinya”.
Kedua,
Dinginnya kekuatan politik di tingkat legislatif terlihat menunjukan gelagat kekompakan dengan eksekutif. Seharusnya peran legislatif ini adalah oposisi sejati dari peran eksekutif dalam keadilan rakyat yang diwakilinya. Masyarakat terdampak yang termajinalkan terombang-ambing oleh kekuatan eksekutif. Legisatif dan investor yang terpolarisasi.
Ketiga,
Sistem oligarki membuka pintu peluang yang sangat lebar kepada para investor, pintu yang masyarakat biasa tak akan pernah bisa masuk ke dalamnya. Melalui pintu tersebut, loloslah berbagai persetujuan dan perjanjian antara penguasa dan pengusaha yang abai akan hak si masyarakat terdampak tersebut.
Dari semua catatan di atas,
tawaran langkah dalam pembangunan Bandara Kulon Progo adalah sebagai berikut:
Pertama,
Buka dan bangun dialog seluas-luasnya untuk warga terdampak oleh proyek pembangunan NYIA untuk menampung aspirasi, kekhawatiran, kecemasan dan harapan yang masih mereka milliki. Merangkul mereka yang terlanjur kecewa dan terabaikan bukan hal yang mudah, tak ada pilihan yang paling baik dari pihak pemerintahan untuk
merekonstruksi pendekatan dan perumusan kebijakan publik yang selama ini sudah
mengabaikan aspek hak masyarakat.
merekonstruksi pendekatan dan perumusan kebijakan publik yang selama ini sudah
mengabaikan aspek hak masyarakat.
Kedua,
Selain dengan masyarakat, berdialog juga pada stake holder tentang rencana pengembangan wilayah, peningkatan daya saing ekonominya yang tentunya untuk kesejeahteraan masyarakat lokal.
Ketiga,
Pemerintah dalam hal pembangungan ini, harus segera merumuskan mekanisme dan menyelesaikan kompensasi yang pasti dan juga harus menguntungkan warga terdampak apabila memang pembangunan NYIA ini mendesak bagi pembangunan nasional.
Keempat,
Pemerintah harus segera mensosialisasikan dan mengkomunisasikan kepada publik tentang rancangan mitigasi bencana alam dan kerusakan lingkungan hidup di wilayah ini akibat dampak dari pembangunan NYIA dan penanggulangannya mengingat wilayah ini adalah wilayah rawan bencana. Dengan catatan bahwa benar pembangunan Bandara Internasional Yogyakarta merupakan kebutuhan mendesak dalam pembangunan nasional.
Kelima,
Mengingat dalih pembangunan NYIA ini adalah tentang pemerataan pembangunan dan peningkatan daya saing menghadapi pasar global dan meningkatkan pertumbuhan ekonomi lokal, pemerintah wajib terus mengkomunikasikan, mensosialisasikan kepada publik untuk pendampingan dan pemberdayaan kepada warga terdampak dalam pembangunan NYIA ini.
Panjang umur perjuangan,
Bandung, 5 Januari 2018.
tulisan dari berbagai sumber buku dan platform di internet, bilamana ada yang tersinggung, bisa langsung komen di kolom komentar atau hubungi email penulis di canisdirus92@gmail.com
Comments
Post a Comment