SUMPAH PEMUDA MILLENIAL.

Setiap tahun, hari dimana para pemuda yang datang dari berbagai daerah di Indonesia pada 28 Oktober 1928 diperingati sebagai hari Sumpah Pemuda. Di hari itulah warga negara Hindia Belanda, diwakili para pemuda yang berada di bawah administrasi pemerintah kolonial menyatukan tekad untuk berbahasa, bertumpah darah dan berbangsa satu: Indonesia.
Itulah momentum pertama kalinya imaji nasionalisme ke-indonesia-an berwujud di dalam aksi politik pada tataran praksis. Berkumpul, menyatukan suara, menyamakan
presepsi bahwa indonesia akan lebih baik jiga begini, begitu, seperti ini dan seperti itu. Sebuah bangsa dinyatakan berdiri oleh para pemuda yang datang dari beragam latar belakang suku dan etnis. Kontrak sosial pertama ini menjadi tonggak penting peristiwa sejarah yang dilakoni oleh anak muda dengan semangat dan gagasan maju ke depan.
Kebangsaan Indonesia yang ternyata lahir dari sebuah perumusan kaum muda intelektual. Ia bukan hasil dari ekspansi atau paksaan atas sebuah wilayah. Bukan pula sebuah bangsa yang berdiri di atas kepentingan satu golongan belaka. Namun kini, 89 tahun setelah peristiwa itu berlangsung ada banyak pertanyaan mengenai makna peristiwa tersebut bagi bangsa ini. Apakah benar pemuda masih menjadi faktor utama dalam setiap adanya perubahan zaman? Apakah benar bahwa yang muda, yang berkuasa? Mengutip dari lirik lagu Raja Dangdut, Rhoma Irama Masa muda, masa yang berapi-api. Yang maunya menang sendiri, walau salah tak perduli”. rasanya terlalu riskan bila perubahan di pegang di tangan pemuda ini.
Benarkah pemuda masih menjadi faktor utama dalam setiap perubahan zaman? Mengapa nasionalisme kebangsaan Indonesia kini seakan tergerus oleh semangat sektarianisme dan rasialisme yang berkebalikan dengan tujuan Sumpah Pemuda, 28 Oktober 1928? Semangat nasionalisme seperti apa yang harus dirumuskan kembali berdasarkan tantangan zaman kini? Apa harus dibuat Sumpah Pemuda Millenial dengan isi sumpah yang disesuaikan dengan polemik dewasa ini? Sepertinya akan bagus, mengingat generasi saya ini adalah generasi yang ingin segalanya serba instant, sekolah-lulus-bekerja-cukup-menikah-berhutang-bayar-berhutang-bayar dan seterusnya.
Pertanyaan itu akan selalu relevan diajukan apabila kita melihat beberapa perkembangan terakhir ini. Ketika dunia semakin tak berbatas sebagai hasil dari revolusi teknologi informasi dan demokrasi elektoral berlogika pasar menjadikan masyarakat terbagi ke dalam beberapa segmen, mulai afiliasi politik sampai urusan agama.
Hasil riset dilakukan Setara Institute menyatakan sepanjang 1965-2017 terdapat 97 kasus penistaan agama. Kasus dugaan penistaan agama ini makin banyak sejak rezim Orde Baru tumbang. Dia menyebutkan sebelum reformasi hanya ada sembilan perkara penistaan agama, namun sehabis reformasi jumlah kasusnya membengkak menjadi 88. (voa.com/12-5-2017). Pada kasus agama ini bukan hanya tentang si A menistakan secara gamblang agama B. Lebih kepada peng-implementasi-an ilmu agama yang sudah dipelajari diri sendiri dan dibuat agar lebih “masuk akal” dan dianggap menistakan oleh khalayak umum, dan banyak lagi motifnya.
Dalam keadaan seperti inilah, apa lagi yang dapat kita pegang dan percaya? Jadi bagaimana tentang definisi nasionalisme?. “Hampir” semuanya di-cocoklogi-kan, bias serasa tanpa dasar yang jelas. Apakah benar, nasionalisme masa kini hanya pertanyaan? Seakan semuanya berbenturan dengan norma dan undang-undang yang sudah dibuat, ditulis dan bingkis oleh para pendiri bangsa ini untuk anak cucunya. Apa benar nasionalisme kita menuju ambang kehancuran negara ini?
SELAMAT HARI SUMPAH PEMUDA, INDONESIA.

tulisan ini mengacu dari berbagai sumber literasi dan narasi yang disunting dan disesuaikan.
Bandung, draft ditulis pada tanggal 30 Agustus, 2017.

Comments

Popular Posts